Buku Tamu

Sabtu, 26 Januari 2013

Method for Eliminations


Methods for Eliminations
1.      Exemption
(1). Object:
      - Full Exemption
      - Exemption with
      - Progression
(2). Tax Exemption:
      - at the top
      - at the bottom
      - proportional TE (tax exemption)

2.      Tax Credit
-          Full
-          Ordinary
-          Tax Sparing

3.      Reduce Rate
4.      Tax Deduction

Exemption:
Object:
Full Exemption / dibebaskan penuh
State of Residence
State of Source
Worldwide
Domestic
Foreign Income

Rp 400.000.000,-
Rp 200.000.000,-
Rp 600.000.000,-

Tax 20% = Rp 80.000.000,-
Penghasilan Luar Negeri Tidak Dihitung


Object: Exemption with Progression


State of Residence
State of Source
Worldwide
Domestic
Foreign Income

Rp 400.000.000,-
Rp 200.000.000,-
Rp 600.000.000,-



Tax Payable

20,83%
x Rp 400.000.000,-
= Rp 83.333.333,-

Rp 50.000.000,- x 5%     = 
Rp 2.500.000
Rp 200.000.000,- x 15% = 
Rp 30.000.000,-
Rp 250.000.000,- x 25% = 
Rp 62.500.000,-
Rp 100.000.000,- x 30% = 
Rp 30.000.000,-

Total
Rp 600.000.000,-           
Rp 125.000.000,-

Progressive Tariff = Rp 125.000.000,-   x 100% = 20,83%
                                    Rp 600.000.000,-


Tax Exemption

State of Residence

State of Source

Worldwide
Domestic
Foreign Income

Rp 400.000.000,-
Rp 200.000.000,-
Rp 600.000.000,-

Tax Payable
20,83% x Rp 400.000.000,-

= Rp 83.333.333,-

Rp 50.000.000,- x 5%     = Rp 2.500.000
Rp 200.000.000,- x 15% = Rp 30.000.000,-
Rp 250.000.000,- x 25% = Rp 62.500.000,-
Rp 100.000.000,- x 30% = Rp 30.000.000,-

Total
Rp 600.000.000,-            = Rp 125.000.000,-

At the top:
Tax exemption = 30% x Rp 200.000.000
Tax to be paid = Rp 125.000.000,- (-)
Rp 60.000.000
= Rp 60.000.000,-

= Rp 65.000.000,-
At the bottom:
Tax exemption = 
(Rp 50juta x 5%) + (Rp 150juta x 15%)
Tax to be paid =
Rp 125.000.000,- (-) Rp 25.000.000,-

= Rp 25.000.000,-

= Rp 100.000.000,-
Proporsional Tax Exemption :
 Rp 200.000.000,-   x Rp 125.000.000,-
 Rp 400.000.000,-


=Rp 62.500.000,-

Tax Credit Method

Full tax Credit:
Total Income
= Rp 600.000.000,-
Tax
= Rp 125.000.000,-
Foreign Income
= Rp 200.000.000,-
Rate 40%
= Rp 80.000.000,-

The amount of tax to be paid

= Rp 45.000.000,-

Ordinary Tax Credit
Total Income
= Rp 600.000.000,-
Tax
= Rp 125.000.000,-
Maximum credit for foreign income:

a.
Rp 200.000.000,- x Rp 125.000.000,-
Rp 600.000.000,-

= Rp 41.670.000,-
b.
Creditable foreign tax
= 40% x Rp 200.000.000,-
= Rp 80.000.000,-
c.
Acc. To domestic see (tax exemption at the bottom)

= Rp 25.000.000,-

Excess credit
Rp 80.000.000,- (-) Rp 25.000.000,-
= Rp 55.000.000,-

Tax to be paid
= Rp 125.000.000,- (-) Rp 41.670.000,- = Rp 83.330.000,-

Tax Sparing:
Fictious Tax Credit:
Dapat dikreditkan sejumlah % “non treaty tax” walaupun sebenarnya tidak dibayar penuh.
Total Income
= Rp 600.000.000,-

Tax
= Rp 125.000.000`
Dengan treaty “tax holiday” 0% x Rp 200.000.000,-
Metode tax sparing seolah-olah 40% (Rp 200.000.000,-)

= Rp 80.000.000,-
Masi harus dibayar adalah (Rp 125.000.000,- (-) Rp 80.000.000,-
= Rp 45.000.000,-


Reduced Rate
Metode differensiasi tariff (Rate Reduced Method)
Contoh:
Di Negara X, tuan A berpenghasilan dari:
(di Negara domisili diberikan pengurangan tariff  ¾-nya)
Dalam Negeri:

Luar Negeri:
Rp 15.000.000,- x (40%)

Rp 30.000.000,- (30%)
= Rp 6.000.000,-
+
(40% - (¾ x 40%) x Rp 30.000.000 = Rp 3.000.000,-
= Rp 9.000.000,-  (adalah pajak yang harus dibayar di dalam negeri)


Tax Deduction
Total Income                                                              = Rp 600.000.000,-
Dikurangi:
Pajak dibayar diluar negeri (pajak dianggap sebagai biaya)
Yaitu: Pasal 17 x Rp 200.000.000,-                           = Rp 25.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak                                            = Rp 575.000.000,-


Rabu, 23 Januari 2013

Resume PPh Pasal 24


RESUME PPh PASAL 24

Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang dapat diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang terutang di luar negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh  :
1.      Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
2.     Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
Penghasilan yang boleh diperhitungkan/ dikreditkan tersebut antara lain penghasilan dari luar negeri berupa :
a.      penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya;
b.      penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta gerak;
c.       penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak;
d.      penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e.       Penghasilan BUT luar negeri;
f.        penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
g.      keuntungan karena pengalihan harta tetap;
h.      keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap.
Hal yang paling mendasar PPh Pasal 24 ini adalah adanya batas maksimumyang boleh dikreditkan seperti yang tercantum dalam ayat 2 Pasal 24 UU PPH seperti tersebut di atas.

Contoh kasus pph pasal 24:
PT B di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2001 sebagai berikut :
1.      di negara X, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 100.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40% (Rp. 40.000.000,00);
2.      di negara Y, memperoleh penghasilan (laba) Rp. 750.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 10% (Rp. 75.000.000,00);
3.      Penghasilan usaha di dalam negeri Rp. 400.000.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut :
1.
Penghasilan Luar negeri :
  
a.
laba di negara X
=
Rp. 100.000.000,00
  
b.
laba di negara Y
=
Rp. 750.000.000,00
  
c.
Jumlah penghasilan luar negeri
=
Rp. 850.000.000,00
  
2.
Penghasilan dalam negeri
=
Rp. 400.000.000,00
3.
Jumlah penghasilan neto adalah :
  
Rp. 850.000.000,00 + Rp. 400.000.000,00 = Rp. 1.250.000.000,00
4.
PPh terutang (menurut tarif Pasal 17 dengan fasilitas ) = Rp. 156.250.000,00
5.
Batas maksimum kredit pajak luar negeri untuk masing-masing negara adalah :
  
a.
Untuk negara X = 
  
  
Rp.    100.000.000,00 
Rp. 1.250.000.000,00
X Rp. 156.250.000,00 = Rp. 12.500.000,00

  
  
Pajak yang terutang di negara X sebesar Rp. 40.000.000,00, namun maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp. 12.500.000,00.
  
b.
Untuk negara Y = 
  
  
Rp.   750.000.000,00 
Rp.1.250.000.000,00 
X Rp. 156.250.000,00 = Rp.93.750.000 ,00

  
  
Pajak yang terutang di negara Y sebesar Rp. 75.000.000,00, maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp.75.000.000,00.
Jumlah PPh Pasal 24 kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah : 
Rp. 12.500.000,00 + Rp. 75.000.000,00 = Rp. 87.500.000,00



RESUME TENTANG BADAN USAHA TETAP (BUT)

Bentuk Usaha Tetap (disingkat BUT) adalah salah satu Wajib Pajak yang menempati kedudukan khusus dalam sistem perpajakan di Indonesia. BUT adalah termasuk Wajib Pajak Luar Negeri. Oleh karenanya pengertian BUT akan bersinggungan dengan sistem perpajakan dari negara lain sehingga BUT juga merupakan salah satu hal yang menjadi bahasan dalam perjanjian perpajakan dengan negara lain.
Pengertian BUT
Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manjemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, dan lain-lain. Dengan kata lain BUT adalah bentuk kegiatan usaha di Indonesia yang dimiliki oleh orang atau badan luar negeri.
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin dan peralatan.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Kewajiban Pajak BUT
Walaupun BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri, namun kewajiban perpajakan BUT hampir sama dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri. Suatu BUT berkewajiban untuk ber NPWP. Apabila memenuhi ketentuan di Undang-undang PPN, BUT juga wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Setelah berNPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP, BUT berkewajiban menjalankan hak dan kewajiban perpajakan yang sama dengan Wajib Pajak Dalam Negeri. BUT Wajib menyampaikan SPT PPh Badan, SPT PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 4 ayat (2) dan/atau PPN sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perbedaan mendasar dalam perlakuian PPh antara Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan BUT terletak pada :
1.         Sumber penghasilan BUT yang dikenakan PPh adalah penghasilan dari Indonesia saja karena BUT termasuk Wajib Pajak Luar Negeri.
2.         Adanya perlakuan khusus tentang penghasilan yang menjadi objek pajak BUT dan biaya yang boleh dikurangkan bagi BUT yang diatur dalam Pasal 5 UU  PPh.
3.         3. Adanya kewajiban khusus pemotongan PPh Pasal 26 atas Penghasilan Kena Pajak setelah dikurang pajak di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) UU PPh.